IMPLEMENTASI IDIOLOGI PANCASILA
IMPLEMENTASI IDIOLOGI PANCASILA

IMPLEMENTASI IDIOLOGI PANCASILA

Pendahuluan
Umum diketahui bahwa idiologi Pancasila itu adalah idiologi yang bersumber dari lima nilai dasar dalam rumusan Pancasila yang disepakati pada 18 Agustus 1945 sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 19945. Rumusan Pancasila tidak lahir dari ruang hampa, tetapi lahir dalm situasi dan kondisi lingkungan kehidupan antar bangsa yang sedang menghadapi pertarungan idiologi yang tajam antara idiologi kapitalisme dan komunisme. Indonesia yang sedang dijajah Belanda sedang mengalami pergolakan untuk merdeka yaitu keluar dari kungkungan penjajahan yang dianggap sebagai refleksi dari idiologi liberalisme-kapitalisme yang pada dasarnya bersifat imperialis. Pada sisi lain, tumbuh gerakan idiologi yang progresif revoilusioner terutama setelah revolusi Bolshevik di Rusia pada 1917 yang mendasarkan pada idiologi komunisme yang diajarkan oleh Karl Max yang menantang kapitalisme. 
Demikian juga persilangan pemikiran para founding fathers yang berbeda latar belakang agama, pendidikan, suku serta budaya sangat mempengarhu lahirnya rumusan Pancasila itu. Namun demikian, pada umumnya para founding fathers – sebagaimana dapat dibaca dalam risalah BPUPK – menolak secara tegas kapitalisme dan pada sisi lain tidak dapat menerima komunisme Marxisme dan memiliki kesadaran yang sama untuk menemukan suatu garis idiologi sendiri yang berakar dari budaya masyarakat dan bangsa Indonesia asli. Tidak kapitalis dan tidak juga Marxis. 
Kesepakatan lima dasar dalam Pancasila itu adalah kesepakatan umum yang dapat diterima oleh seluruh founding fathers, yang menurut J. Relay, kesepakatan kesepkatan umum dalam rumusan konstitusi cenderung menyembunyikan hal-hal detail yang sebenarnya tidak disepakati. Untuk menghindari deadlock disepakatilah rumusan umum seperti itu, yang dalam tahap implementasi akan menjadi perdebatan kembali tentang makna dan detail dari rumusan itu. Di sinilah makna sistem pemerintahan konstitusionalisme yang memungkinkan segala perdebatan dimungkinkan dalam lingkup rumusan umum dalam konstitusi.  
Oleh karena itu memahami Pancasila, haruslah memahami sungguh-sungguh latar belakang lahirnya, perdebatan diantara para perumus yang menyapakatinya serta lingkup penerapannya dari masa ke masa. Uraian makalah singkat ini bermaksud untuk memaparkan secara sederhana penerapan idiologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna Awal
Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945 di hadapan rapat BPUPK memperkenalkan istilah “Panca Sila”, sebagai istilah yang merangkum lima dasar yang dikemukakannya sebagai dasar Indonesia merdeka. Kelima dasar negara menurut Soekarno: i) kebangsaan Indonesia, ii) internasionalisme atau kemanusiaan, iii) mufakat, perwakilan dan permusyawaratan, iv) kesejahteraan sosial, dan v) Ketuhanan. Kelima sila tersebut dapat diperas menjadi tiga yang disebutnya dengan Tri Sila, yaitu: i) socio-nationalisme, 2) socio democratie dan iii) ke-Tuhanan serta dapat diperas lagi menjadi Eka Sila, yaitu : gotong royong. Prinsip kebangsaan menurut Soekarno adalah prinsip menyatukan Indonesia, menyatukan seluruh rakyatnya beserta tanah dan airnya. Dalam pidato tersebut Soekarno berusaha meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo yang berbicara sebelumnya yang menawarkan negara berdasarkan Islam dengan menekankan bahwa negara yang kita bangun adalah negara berdasarkan kebangsaan. Kebangsaanlah yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia yang berbeda suku, agama, budaya, serta menyatukan tanah dan air dalam satu kesatuan, yaitu kebangsaan Indonesia. Hal yang sama, ditekankan oleh Agus Salim, bahwa persatuan Indonesia yang menyatukan seluruh keragaman bangsa Indonesia menjadi suatu negara yang kuat. Segala perbedaan diselesaikan secara musyawarah mufakat.  
Ada tiga aliran pemikiran tentang negara menurut Soepomo, yaitu pertama, ada satu aliran pikiran yang menyatakan bahwa negara itu terdiri atas dasar teori perseorangan. Menurut aliran pikiran ini, negara ialah masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat itu (social contract). Susunan hukum negara yang berdasar individualisme terdapat di negeri Eropa Barat dan Amerika. Kedua, aliran pikiran lain tentang negara ialah teori “golongan” dari negara (class theory) sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan yang lembek. Negara kapitalis adalah perkakas bourgeousi untuk menindas kaum buruh. Oleh karena itu, para Marxis menganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan negara agar kaum buruh ganti menindas borjuis. Ketiga, aliran pikiran lain adalah teori yang dapat dinamakan teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain (abad ke-18/19). Menurut pikiran ini, negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Soepomo menganjurkan agar negara Indonesia yang hendak dibangun adalah negara yang berdasarkan aliran pikiran integralistik karena aliran pikiran nasionalis sosialis, yaitu prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnya cocok dengan aliran pikiran ketimuran.
Soepomo sebagaimana pidatonya pada sidang BPUPK 31 Mei 1945 menghendaki suatu negara dengan prinsip integralis, yaitu persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia bathin antra micro-cosmos dengan macro-cosmos antara rakyat dan pemimpinnya. Soepomo menyatakan “Maka teranglah tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi segala golongan-golongan dalam lapangan apapun.”  
Pikiran negara integralistik ini dikhawatirkan oleh Moh. Hatta dan juga Yamin, akan menghilangkan hak-hak individu sehingga menjadi negara yang otoriter. Selain itu, beberapa tokoh yang mengemukakan pandangannya mengenai dasar negara, antara lain: dikemukakan oleh : i) Muhammad Yamin yang juga mengemukakan empat dasar, yaitu negara kebangsaan, dasar kemanusiaan (internasionalisme), Ketuhanan, permusyawaratan-perwakilan-kebijaksanaan, ii) Wiranatakoesoema yang mengemukakan pentingnya dasar agama, akhlak dan kemanusiaan, iii) Woerjaningrat yang mengusulkan dasar kekeluargaan dan internasionalisme, iv) Soesanto Tirtoprodjo yang mengusulkan dasarnya negara adalah semangat kebangsaan, hasrat persatuan, dan rasa kekeluargaan, v) Dasaad yang mengusulkan dasar negara adalah Ketuhanan, vi) A. Rachim Pratalykrama yang mngusulkan dasar negara adalah prinsip persatuan, dan agama Islam sebagai agama negara), vii) Abdul Kadir yang mengusulkan dasar negara adalah persatuan, pendidikan rakyat, dan pembangunan ekonomi, serta viii) Ki Bagoes Hadikoesoemo mengusulkan ajaran Islam sebagai dasar negara yang menjamin adanya persatuan, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan, mesyawarah dalam politik, dan lain-lain. 
Kesemua pandangan tersebut menunjukkan adanya ragam pandangan dari para tokoh tentang dasar negara yang dicita-citakan, yang pada akhirnya mengerucut pada dua pandangan besar yaitu para tokoh yang menghendaki dasar negara itu adalah Islam dan para tokoh yang menghendaki dasar negara itu adalah negara kebangsaan. Perbedaan tersebut diselesaikan dalam rumusan kesepakatan yang sangat dikenal dengan istilah Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, yang kemudian disepakati dalam rumusan yang sedikit berbeda pada saat penyesahan undang-undang dasar tanggal 18 Agustus 1945. Rumusan akhir ini telah mengakomodasi berbagai pandangan yang ada.
Pada rumusan mengenai struktur kelembagaan negara, para founding fathers membayangkan sebuah negara kekeluargaan yang segala masalah negara yang strategis dimusyawarahkan dalam lembaga MPR yang merupakan perwakilan seluruh unsur rakyat yang terdiri dari anggota DPR yang dipilih rakyat, ditambah dengan utusan daerah dan utusan berbagai golongan masyarakat yang ada. MPR-lah yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat, menetapkan UUD, menetapkan garis-garis besar haluan negara serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Namun ada sesuatu yang sedikit aneh bagi saya, ketika dasar falsafah negaranya adalah musyawarah mufakat tetapi dalam UUD itu mengatur bahwa Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, MPR bisa melakukan apa saja karena itulah pernyataan kehendak rakyat. Keindahan konsep, kejernihan pikiran yang tertuang dalam kesepakatan dasar haruslah diuji dalam implementasi, yaitu implementasi dalam kehidupan riil kenegaraan yang penuh dinamika.
Implementasi Awal
Periode awal implementasi idiologi Pancasila (1945-1949) menunjukkan sesuatu yang tidak terpola bahkan dalam banyak hal keluar dari desain awal saat UUD itu disusun. Hal itu dapat dipahami karena Indonesia menghadapi pergolakan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang menjadi kebijakan negara sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang dihadapi sehingga seperti terlepas dari desain awal yang dicita-citakan. Hal terpenting yang menjadi dasar kebijakan negara pada saat itu adalah keberlangsungan Indonesia merdeka. Oleh karena itu, dinamika politik pada hari-hari awal kemerdekaan mengharuskan pimpinan negara mengubah struktur dan hubungan kelembagaan negara yang menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, tetapi berubah menjadi parlementer, ketika kabinat (para menteri) bertanggung jawab kepada KNIP (khususnya Badan Pekerja KNIP). Kewenangan presiden menjadi terbagi. Segala kebijakan presiden harus berkompromi dengan KNIP.  
Model penyelenggaraan pemerintahan yang demikian, kemudian diperkuat dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950). Walaupun prinsip-prinsip dasar Pancasila termuat dalam pembukaan Konstitusi RIS maupun UUDS, pasal-pasal dalam kedua konstitusi tersebut seperti keluar dari falsafah Pancasila sebagaimana dirumuskan pada awalnya. Sistem pemerintahan negara tidak lagi menempatkan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kedaulatan rakyat. Presiden hanya menjadi presiden nominal, karena sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlemnter yaitu cabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Jaminan hak asasi manusia diperluas, bahkan terdapat 47 pasal Konstitusi RIS dan UUDS mengenai jaminan hak asasi manusia. Era inilah yang disebut dengan era demokrasi liberal dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yang ditandai dengan sistem pemerintahan parlementer, kebebasan berpendapat, kebebasan mendirikan partai politik sehingga pada pemilu pertama tahun 1955 terdapat 48 partai politik dan perseorangan sebagai peserta pemilu. Walaupun demikian, penyelenggaraan pemilu tersebut dicatat dalam sejarah sebagai pemilu yang sangat jujur dan adil dan melahirkan para wakil rakyat yang mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Pada saat yang sama terjadi gonta ganti kabinet (kabinet jatuh bangun karena kepentingan politik) dan pemerintahan menjadi tidak stabil, program pemerintahan di bidang ekonomi terabaikan.
Bergerak Ke Sudut Ekstrim 
Mulai akhir 1956, Soekarno melihat sumber masalah pada partai-partai politik dan meminta agar partai-partai politik dibubarkan, kemudian memperkenalkan sebuah konsepsi baru sistem pemerintahan, yaitu “Demokrasi Terpimpin”. Presiden Soekarno berpandangan bahwa cara pembentukan pemerintahan atas dasar demokrasi parlementer yang bersifat kepartaian dengan paham politk liberal, tidak akan sanggup membawa negara kita keluar dari segala kesulitan yang dihadapi. Soekarno mengambil jalan luar biasa untuk membentuk Kabinet Karya yang bersifat darurat extra parlementer. Menurut keyakinan Soekarno, susunan ketatanegaraan yang berdasarkan “multipartisme”, seperti dianjurkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 itu, ternyata tidak cocok dengan cita-cita umum masyarakat karena hanya menimbulkan politik “free fight liberalism” dan politik tersebut menghambat pembangunan negara di segala lapangan. 
 Demokrasi terpimpin menurut Soekarno adalah suatu demokrasi penyelenggaraan atau satu “werk democracy” yakni untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia, terutama sekali di bidang sosial, yaitu satu masyarakat adil dan makmur. Sebagaimana keterangan pemerintah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat yang diwakili oleh Perdana Menteri Juanda, demokrasi terpimpin berarti demokrasi yang harus mempunyai disiplin dan harus mempunyai pimpinan. Demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur, suatu masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spirituil, sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Masyarakat adil dan makmur tidak lain daripada masyarakat teratur dan terpimpin. Untuk menyelenggarakan masyarakat yang demikian itu diperlukan suatu pola, dan untuk menyelenggarakan pola itu harus dipergunakan demokrasi terpimpin. Dengan demikian, demokrasi terpimpin pada hakikatnya adalah demokrasi penyelenggaraan (werkdemocratie). Adapun perancang pola itu adalah Dewan Perancang Nasional. 
 Menurut Soekarno demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi terpimpin, dilakukan penertiban kehidupan kepartaian, menyalurkan golongan-golongan fungsional sebagai kekuatan politik, serta keharusan adanya jaminan kelanjutan program pemerintah. Sementara itu, Yamin mengartikan demokrasi terpimpin sebagai guided democracy, yang berarti pula orgonized democracy, dipimpin tidak oleh perseorangan; juga tidak berbentuk gecentraliseerde materialisme, melainkan oleh organisasi nasional sendiri. Oleh karena itu, demokrasi terpimpin di tanah Indonesia menurut ajaran Pancasila adalah orgonized democracy.
 Lahirnya demokrasi terpimpin oleh Adnan Buyung Nasution dianggap sebagai lahirnya totaliterisme. Menurut Nasution, pada akhir 1950-an mulai tampak adanya tanda-tanda penyimpangan terhadap asas-asas universal pemerintahan yang baik. Berbagai kesulitan–di bidang politik maupun ekonomi–yang dihadapi bangsa Indonesia ketika itu dianggap melulu bersumber dari sistem pemerintahan yang dijalankan, yang dituduh sebagai barang impor, sehingga Soekarno mengenalkan model demokrasi terpimpin. Kenyataannya praktik politik rezim demokrasi terpimpin tak jauh berbeda dengan pemerintahan negara integralistik-totaliter. Hal itu terbukti dengan terkonsentrasinya seluruh kekuasaan di tangan Presiden. Pada tahun 1962, lembaga tinggi negara (DPR, MA, BPK, DPR) dan lembaga tertinggi negara (MPR) dijadikan pembantu Presiden. Presiden berkuasa mutlak.
 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 beserta konsep demokrasi terpimpin sebagai bagian tidak terpisahkan dari dekrit tersebut benar-benar telah memberikan kekuasaan penuh di tangan presiden tanpa pembatasan. Walaupun demokrasi terpimpin berlandaskan konstitusi, yaitu UUD 1945, karena UUD 1945 yang sangat ringkas, fleksibel dan memberikan peluang yang sangat besar untuk tumbuhya negara kekuasaan yang bertumpu pada presiden—telah mengakibatkan pelaksanaan kekuasaan dalam demokrasi terpimpin hanya bertumpu pada Presiden Soekarno. 
Konsentrasi kekuasaan di tangan presiden dimulai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara, yaitu MPR, DPR, DPA, BPK dan pengisian pejabat-pejabatnya yang semuanya dilakukan oleh Presiden. Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden yang kedudukannya sama, bahkan di atas undang-undang, karena bersumber langsung dari Dektrit Presiden 5 Juli 1959. 
Di samping itu, sejak tahun 1962, Ketua Mahkamah Agung, Ketua MPRS, Ketua DPR, serta Wakil Ketua DPA, semuanya merangkap sebagai menteri dan anggota kabinet yang berada di bawah presiden yang merangkap sebagai Perdana Menteri. Presiden berwenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan UU N0. 19/1964, dan bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPR, serta Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat. Bahkan pada 1960, Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955 dengan Penetapan Presiden No. 3/1960. Prinsip pembatasan kekuasaan serta check and balances sebagai ciri negara hukum dikesampingkan. Demokrasi terpimpin telah menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan negara tanpa batas yang dikukuhkan lagi oleh MPR(S) dalam sidang umumnya tahun 1963 yang mengangkat Presiden Republik Indonesia Soekarno untuk jabatan semumur hidup.   
Usaha Menarik Ketengah 
 Karena kegagalan demokrasi terpimpin yang ternyata telah membawa kemunduran di berbagai segi kehidupan, Presiden Soeharto dengan membawa semangat baru (Orde Baru) hendak mengoreksi pemerintahan Soekarno dengan tekad melaksanakan Pancasila dan undang-undang dasar secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, pada kenyataanya demokrasi Pancasila yang diterapkan Soeharto justru melanjutkan konsep demokrasi terpimpin yang dilaksanakan Soekarno dengan beberapa koreksi dan mengubahnya dengan sebutan demokrasi Pancasila. Kedua konsep demokrasi ini memiliki beberapa kesamaan prinsipil, antara lain:
menganut paham negara integralistik dan kekeluargaan;
bersumberkan pada UUD 1945 dan Pancasaila sebagi dasar falsafah negara;
menolak demokrasi liberal yang dianggap sebagai demokrasi yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia;
diangkatnya unsur golongan fungsionail dalam anggota DPR di samping Utusan Golongan dalam MPR;  
pembatasan terhadap partai politik;  
kepemimpinan negara yang berpusat pada Presiden;
berorientasi pada jaminan dan kosisten pencapaian tujuan dan target. 
Oleh karena itu, dalam demokrasi Pancasila ala Orde Baru juga tidak mengenal prinsip check and balances dan perimbangan kekuasaan karena kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh presiden. Dalam hal ini presiden bertindak selaku mandataris MPR sehingga dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara presidenlah yang paling berkuasa.
Walaupun kenyataanya, pada sisi lain, implementasi demokrasi Pancasila yang dikembangkan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto—yang membedakannya dengan demokrasi terpimpin—adalah dilaksanakannya pemilihan umum secara rutin lima tahunan untuk mengisi anggota DPR, pergantian anggota MPR serta pemilihan presiden secara rutin setiap lima tahun, pengisian ketua dan anggota lembaga-lembaga negara lainnya berdasarkan undang-undang, serta diberikannya kewenangan setiap lembaga negara sesuai dengan UUD 1945. 
Secara formal dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan negara di bawah pemerintahan Soeharto mengikuti prinsip hukum dan konstitusi. Secara formal juga terdapat pembagian kekuasaan antara lembaga negara sesuai dengan UUD, kekuasaan peradilan yang independen dan tidak memihak, pembentukan pengadilan tata usaha negara. Namun, pemerinatahan Orde Baru memiliki sisi gelap dalam penegakan hak asasi manusia. 
Demokrasi Pancasila, menurut Sudharmono, adalah demokrasi berdasarkan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, tidak kurang dan tidak lebih. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sebutan demokrasi Pancasila juga untuk membedakan dengan—dan sebagai koreksi terhadap—sebutan demokrasi terpimpin pada era orde lama. Akan tetapi, hasil penelitian dari John Pieris atas praktik pemerintahan Orde Baru menyimpulkan bahwa, baik dalam menjalankan pemerintahan negara maupun pertanggungjawabannya, sepenuhnya berada di tangan Presiden sehingga mekanisme checks and balances tidak dapat terwujud sebagaimana mestinya. Demikian juga, MPR yang diletakkan sebagai lembaga tertinggi negara memiliki kekuasaan yang sangat besar, yaitu sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sepenuhnya dalam sistem pemerintahan. Akibatnya, hubungan antarlembaga negara tidak mungkin terjadi checks and balances karena sumber kedaulatan rakyat ada pada MPR sendiri. Posisi MPR yang demikian dimanfaatkan sedemikian rupa oleh presiden untuk memperkuat kedudukannya dengan mengangkat anggota MPR yang memberikan dukungan politik kepada Presiden. Akibatnya, kedudukan Presiden yang ditempatkan sebagai mandataris MPR benar-benar mengambil alih kekuasaan MPR dalam melaksanakan pemerintahan negara.
Koreksi Atas Demokrasi Pancasila Orde Baru 
 Perubahan UUD 1945 menata kembali sistem pemrintahahan Indonesia dengan merumuskan kembali peran dan fungsi setiap cabang kekuasaan pemerintahan. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi untuk menghindarkan dominasi satu cabang kekuasaan atas cabang kekuasaan pemerintahan lainnya. Selain itu, prinsip pengawasan dan perimbangan juga dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan cabang pemerintahan lainnya.
Pada dasarnya prinsip pengawasan dan perimbangan di dalam pengelolaan negara bersumber pada pembagian kekuasaan negara di antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dikenal dengan sebutan trias politica. Format pengawasan dan perimbangan ini diletakkan dalam kerangka konstitusi. UUD 45 pasca-perubahan memuat ketentuan yang mengatur dan membatasi kekuasaan setiap cabang pemerintahan yang tercermin dalam struktur dan fungsi kelembagaan negara yang berbeda.
 Posisi dan struktur MPR setelah perubahan UUD 1945 tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat – sebelum perubahan, MPR adalah melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, siapa pun presiden yang dapat menguasai MPR, kekuasaannya akan langgeng. Sebaliknya, bila Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenan. 
Selain itu, pembatasan kekuasaan yang diisyaratkan dalam UUD juga mengatur beberapa kewenangan yang dimiliki oleh satu cabang kekuasaan pemerintahan, membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari cabang-cabang kekuasaan pemerintahan yang lain. Seperti beberapa kewenangan yang ada pada Presiden yang membutuhkan pengesahan dan persetujuan DPR atau Mahkamah Agung dalam pelaksanaannya. Demikian pula, sebaliknya, kewenangan-kewenangan yang ada pada DPR sebagai lembaga legislatif membutuhkan pengesahan dan persetujuan cabang kekuasaan pemerintahan lainnya, yaitu Presiden, dan kekuasaan DPR dan presiden dapat dibatasi oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim Agung di Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan yudikatif harus diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diangkat oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari DPR.  
Perubahan UUD 1945 meneguhkan bentuk pemerintahan Indonesia sebagai pemerintahan yang menganut sistem presidesial. Perubahan UUD 1945 memperkuat kedudukan Presiden, yaitu dengan mempersulit pemakzulan presiden. Proses pemakzulan hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang terbatas dan mekanisme yang rumit. Jika pemilihan dan pengangkaan Presiden dan Wakil Presiden sebelum perubahan UUD dilakukan MPR, maka setelah perubahan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Karena dipilih langsung oleh rakyat, Presiden mendapat legitimasi langsung dari rakyat dan kedudukannya menjadi lebih kuat di hadapan lembaga negara yang lainnya, termasuk di hadapan MPR. Konsekuensinya, adanya jaminan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menduduki masa jabatannya dalam waktu tertentu (fix periode), lima tahun, dan tidak mudah diberhentikan hanya karena dinggap melakukan kebijakan politik yang salah. 
 Dalam hubungannya dengan kekuasaan presiden dan DPR, kedudukan DPR sangat kuat, tidak menjadi untergoernet, melainkan neben terhadap pemerintah. UUD secara tegas menentukan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, dalam mengangkat duta besar dan menerima duta dari negara lain, Presiden juga harus memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian juga pemberian amnesti dan abolisi juga membutuhkan pertimbangan DPR serta pembuatan perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara juga memerlukan persetujuan DPR.
 Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, DPR mendapatkan penguatan posisi dan kewenangan. Jika UUD sebelum perubahan, DPR hanya memberikan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden, setelah perubahan, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang harus mendapatkan persetujuan bersama dengan presiden. Apabila persetujuan ini tidak dapat diperoleh, rancangan undang-undang tersebut tidak dapat diajukan kembali dalam persidangan DPR pada masa itu.
 Selain itu, dalam melaksanakan prinsip pengawasan dan perimbangan kekuasaan, DPR dibekali hak-hak interpelasi (mengajukan pertanyaan), hak angket (melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat (mosi, memorandum). Di samping itu, setiap anggota DPR juga memiliki hak-hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (bebas dari tuntutan hukum).
Di samping itu, pengawasan dan perimbangan kekuasaan Presiden tidak hanya dihadapkan pada kekuasaan legislatif, tetapi juga terhadap kekuasaan yudikatif. Di samping segala keputusan Presiden yang dapat dibatasi oleh pengadilan, kekuasaan presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dibatasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman.
Pemakzulan Presiden, setelah perubahan UUD 1945, tidak dapat dilakukan hanya karena alasan-alasan politis. Presiden hanya dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya hanya dengan alasan-alasan melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, serta perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden (pasal 7A). Berbeda dengan sistem presidensial yang dianut sebelum perubahan yang menempatkan Presiden di bawah MPR, dalam hal ini MPR yang mengangkat dan dapat memberhentikan presiden walaupun dengan alasan-alasan politis karena presiden diposisikan sebagai mandataris MPR. Jadi, sistem ini sebenarnya hampir sama dengan sistem parlementer yang menganut supremasi parlemen atas eksekutif.
Mekanisme pemakzulan presiden setelah perubahan harus menempuh mekanisme yang sulit dan panjang, yaitu melalui pengkajian dan penyelidikan yang dilakukan oleh DPR yang menghasilkan pendapat berupa keputusan DPR mengusulkan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Sebelum proses pengajuan ke MPR, DPR harus terlebih dahulu meminta putusan Mahkamah Konstitusi apakah secara yuridis pendapat DPR ini dibenarkan atau tidak secara konstitusi. Jika putusan DPR secara yuridis tidak berdasar, usulan pemberhentian itu tidak dapat dilanjutkan. Sebaliknya, kalau secara yuridis benar, DPR melajutkan usulan itu kepada MPR untuk memutuskan pemakzulan Presiden. Atas pertimbangannya sendiri, MPR dapat memberhentikan atau tidak memberhentikan presiden berdasarkan jumlah dukungan suara anggota MPR. Logikanya jika usulan pemberhentian tersebut telah mendapat dukungan kuat dari anggota DPR, dapat dipastikan akan mendapat dukungan kuat dari MPR karena lebih dari dua pertiga anggota MPR adalah anggota DPR.
Evaluasi Implementasi Idiologi Pancasila
Dari uraian di atas dapatlah ditarik suatu benang merah bahwa impelemntasi demokrasi Pancasila dari waktu ke waktu mengalami perbuhan dan bahkan berbeda antara satu masa ke masa yang lain. Paling tidak ada tiga model implementasi yang berbeda dalam penyelenggaraan pemerintahan dan struktur negara, yaitu: masa demokrasi liberal, masa demokrasi terpimpin, masa demokrasi Pancasila ala Soeharto dan masa demokrasi reformasi. Menurut saya, setiap masa akan selalu menghadapi dinamika dan realitas politik yang berbeda yang akan selalu dijawab oleh para pemimpin pada saat itu agar negara menjadi survive. Soekarno boleh mengkritik demokrasi liberal, tetapi demokrasi liberal itulah yang harus diterima dan memberi jawab atas persoalan yang dihadapi pada saat itu. 
Demikian juga kita boleh menyalahkan Soekarno pada saat menerapkan demokrasi terpimpin, tetapi kebijakan itulah yang harus diambil untuk menjawab tantangan dan kebutuhan pada saat itu. Ketika kabinet jatuh bangun, kehidupan negara yang serba tidak teratur, ancaman perpecahan di seluruh negeri mulai menguat, Presiden Soekarno menjawabnya dengan demokrasi terpimpin, untuk menjaga keutuhan bangsa. Masalahnya demokrasi terpimpin berubah menjadi otoriter ketika Soekarno menutup telinga atas setiap kritikan yang ada dan mulai jalan sendiri, sehingga jatuh karena kebijakannya. 
Soeharto muncul dengan Orde Baru-nya hendak memperbaiki keadaan mengyelesaikan tantangan pada saat itu, dengan menerapkan model penyelenggaraan negara yang berbeda dengan masa Soekarno, yang dinamakannya demokrasi Pancasila. Pada akhirnya model penyelenggaraan negara ala Orde Baru mengalami keruntuhan juga oleh masa reformasi dan model penyelenggaran pemerintahan berubah lagi dengan model yang baru. Menurut saya model yang baru ini, adalah usaha jalan tengah antara demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan dimokrasi Pancasila ala Soeharto. Suatu pemerintahan yang bertumpu pada prinsip negara hukum dan prinsip konstitusionalisme.
Keresahan Baru
Setelah lebih dari sepuluh tahun pelaksanaan model pemerintahan reformasi, terdapat kejenuhan dari sebahagian kalangan dan menawarkan model pelaksanaan pemerintahan yang baru. Belum ada suatu konsep dan desain yang jelas lahir dari keresahan tersebut, hanya kerisauan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang dipandang semakin jauh dari idiologi Pancasila. Paling tidak, persoalan tersebut tergambar dari kekhawatiran atas pelaksanaan demokrasi politik yang terlalu bebas, prinsip-prinsip musyawarah yang diabaikan, degradasi posisi MPR dan penyesalan atas hapusnya GBHN, ekonomi yang dianggap liberal serta kuatnya parlemen atas presiden. 
Perlu perenungan yang dalam atas setiap pilihan yang akan diambil. Dari pengalaman sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sejak kemerdekaan, kita dapat mengambil banyak pelajaran dan hikmah agar tidak salah. Jika hendak mengambil kebijakan baru setelah reformasi, kebijakan yang bagaimankah yang akan di ambil, apakah model pelaksanaan idiologi Pancasila ala demokrasi terpimpin, model demokrasi Pancasila ala Soeharto ataukan model yang sama sekali baru. Semua model yang ada mengklaim sebagai model pemerintahan berdasarkan idiologi Pancasila. Kalau ingin kembali ke model demokrasi terpimpin ala Soekarno atau model demokrasi Pancasila ala Soeharto, bukankah kedua model itu telah gagal bahkan diubah dengan pengorban yang sangat besar. 
Demikian halnya jika hendak mengidupkan GBHN model pemerintahan Soeharto yang ditetapkan oleh MPR. Ketika itu, kerangka sistem yang dianut adalah kekuasaan tertinggi ada di tangan MPR yang sekaligus pelaksana sepnuhnya kedaulatan rakyat. MPR-lah yang menentukan dan menetapkan garis-garis besar haluan negara yang harus dilaksanakan oleh presiden dan seluruh lembaga negara. Presiden dalam sistem MPR itu, adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bawah MPR dan merupakan mandataris MPR, sehingga presiden memiliki kewenangan lebih dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintahan. Tetapi Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Jika MPR menganggap bahwa presiden telah melanggar haluan negara atau garis-garis besar haluan negara maka presiden dapat dimintai pertanggungjawaban yang dapat berujung pada pemakzulan.
Jika kembali menggunakan GBHN model seperti itu, konsekuensinya, kita harus mengubah kembali struktur kelembagaan negara yang ada dalam perubahan UUD 1945. MPR harus dikembalikan posisinya sebagai lembaga btertinggi negara dan kewenangannya untuk membuat GBHN yang harus diikuti oleh presiden dan seluruh lembaga negara lainnya. Dengan demikian, tidak tepat lagi Presiden dipilih langsung oleh rakyat, karena presiden tidak memiliki kebebasan apa pun untuk membuat program karena cukup melaksanakan saja sesuai dengan GBHN. Pemakzulan presiden cukup dengan model yang lama, yaitu sidang istimewa MPR, dengan alasan bahwa presiden telah melanggar haluan negara. Demikian juga lembaga-lembaga negara lainnya, harus mengukti desain MPR dengan konsekuensi jika tidak dilaksanakan harus juga diberikan sanksi untuk memakzulkan pimpinan lembaga negara yang bersangkutan. Jika dibuat GBHN tanpa sanksi, apakah bedanya dengan undang-undang mengenai program pembangunan. 
Menurut saya, untuk menghindari pengulangan kesalahan seperti praktik bernegara sebelumnya, maka kita harus berpikir jernih untuk kembali pada model GBHN pada masa yang lalu. Sebenarnya berdasarkan norma konstitusi yang ada, kerangka pembangunan jangka panjang dapat saja ditetapkan dengan undang-undang. Hal itu sangat sederhana dilakukan yaitu dengan membuat visi Indonesia jangka panjang kemudian diuturnkan dalam program jangka panjang juga misalnya 50 tahun dan 25 tahun. Rancangan program itu ditetapkan dengan undang-undang yang harus diikuti oleh setiap presiden yang terpilih, sehingga keraguan mengenai visi Indonesia jangka pajang akan terjawab. 
      
Penutup 
Apa pun pilihan kebijakan yang ada, haruslah secara tulus untuk kepentingan bangsa dan negara yaitu untuk menjawab tantangan dan persoalan yang dihadapi masa sekarang dan akan datang. Sepanjang masih dalam kerangka idiologi Pancasila, apa pun kebijakan itu adalah sesuatu yang sah dan konstitusional. Rumusan Pancasila, begitu sangat umum, karena ia merupakan philosophiegroundslag sehingga implementasi dan detailnya sangat bergantung pada dinamika dan tantangan yang ada. Ketika pemerintahan Soeharto mencoba merumuskan detail Pancasila pada tahun 1978, pada saat itu memeroleh tantangan yang sangat besar, sehingga dibatalkan kembali oleh MPR pada tahun 1999. Jadi, Pancasila haruslah menjadi idiologi terbuka agar luwes menghadapi setiap tantangan jaman. 
Benarlah apa yang dikemukakan oleh J. Relay bahwa kesepakatan-kesepakatan awal dalam perumusan konstitusi akan mengalami pertarungan pada tahap permainan politik di tingkat yang lebih rendah oleh generasi selanjutnya. Akhirnya yang menentukan kebijakan negara adalah kekuatan-kekuatan politik dominan pada setiap masa. Hal demikian adalah wajar menurut prinsip konstitusionalisme sepanjang masih dalam konteks makna konstitusi yang tertulis.
—————————————————
     
  
   

Join the Conversation

7 Comments

  1. prof saya mau menanyakan kenapa jika GBHN dihidupkan pemilu langsung oleh rakyat harus dihapuskan? jika saja bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mengatakan kedaulatan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, tak ada keharusan pemilu langsung itu dihapuskan karena UUD mengatur tentang pemilu langsung. menurut saya pada masa orde baru MPR begitu super power karena UUD mengatakan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat, tapi jika UUD menjadi acuan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat walaupun MPR menjadi lembaga tertinggi negara takkan sesuper power seperti jaman orde baru asalkan UUD tidak diamandemen dengan aneh-aneh.

    1. Sepintas tidak ada hubungannya antara GBHN dgn pemilihan Presiden langsung.
      Namun haruslah dipahami apa makna dan hakekat GBHN itu. jika GBHN dimaknai seperti pada masa yang lalu, yaitu ditetapkan oleh MPR wajib dilaksanakan oleh Presiden, dan jika tidak dilaksanakan, Presiden dapat dimintai pertanggung jawaban dalam suatu Sidang Istimewa MPR dan Presiden dapat diberhetikan jika menurut MPR presiden tdk mampu mempertanggungjawabkannya.
      Dalam kerangka seperti itu jelaslah ada hubungannya. Presiden hanya boleh mengkampanyekan apa yg ada di dalam GBHN, lalu apa yang membedakan satu calon presiden dgn calon yang lainnya. Karena semuanya sdh Ada dalam GBHN. Presiden itu diikat tangan dan kakinya utk tidak boleh berbuat lain selain yang digariskan oleh MPR dan di awasi oleh MPR yang juga terdiri dari para politisi. Jadi sistem GBHN yang ditetapkan oleh MPR itu pemerintahannya adalah pemerintahan oleh MPR, tidaklah murni presidensial lagi. Pemberhentian Presiden tdk lagi berdasarkan sistem impeachmnet tetapi sistem pertanggungjawaban politik dihadapan MPR yang sesungguhnya merupakan sistem parlementer.
      Jika GBHN sekedar haluan negara yg tdk memiliki implikasi hukum ketatanegaraan tetapi moral guidance saja, maka utk apa GBHN, tdkkah lebih efektif dgn undang2, krn setiap saat dapat diawasi oleh DPR dan DPD?

  2. Mengikat Presiden secara konstitusional, sebagai alat kontrol dpr dan rakyat terhadap presiden, tetapi tdk dapat sebagai alasan memberhentikan presiden.

Leave a comment

Leave a Reply to taufik ismail Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *