NILAI-NILAI AGAMA DAN BUDAYA SEBAGAI FUNDAMEN KEHIDUPAN BANGSA
NILAI-NILAI AGAMA DAN BUDAYA SEBAGAI FUNDAMEN KEHIDUPAN BANGSA

NILAI-NILAI AGAMA DAN BUDAYA SEBAGAI FUNDAMEN KEHIDUPAN BANGSA

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Sungguh suatu kehormatan besar bagi saya pada hari ini, diberi kesempatan untuk berdiri di sini, memberikan immanence lecturer di Universitas Pendidikan Indonesia ini. Tema kuliah yang diberikan untuk di sampaikan pada hari ini adalah mengenai “Nilai agama dan Budaya sebagai Fundamen Kehidupan Bangsa. Tema kebudayaan adalah suatu tema yang sesungguhnya bukan bidang keahlian saya, karena selama ini baik dalam bidang praktik maupun dalam bidang akademik, saya bergelut dalam dunia hukum, khususnya hukum tata negara. Namun demikian, karena persoalan pokok yang menjadi tema kuliah ini adalah masalah kebangsaan, yaitu masalah fundamen kehidupan bangsa maka saya memberanikan diri untuk menyampaikan kuliah ini karena masalah fundamen kebangsaan adalah masalah umum semata yang menjadi dasar kehidupan kebangsaan kita.
Makna fundamen negara
Ketika kita membicarakan fundamen kehidupan bangsa, maka kita akan berbicara sesuatu yang sangat penting bagi sebuah negara. Negara dan bangsa memiliki kandungan makna yang sedikit berbeda. Negara lebih bermakna hukum dan formal sedangkan bangsa lebih pada makna jiwa yang materiil sifatnya yaitu kehendak untuk bersatu karena kesamaan-kesamaan tertentu yang mendorong mereka membentuk negara. Jadi rasa kebangsaanlah yang mendorong terbentuknya negara, dan rasa kebangsaan itu timbul dari rasa senasib dan sepenanggungan karena latarblekang dan kondisi yang sama.  
Fundamen bangsa adalah dasar untuk tumbuh dan berkembangnya bangsa itu. Dasar bagi setiap kebijakan negara yang akan dijalankan, serta dasar bagi segala hukum dan cita hukum nasional yang kita bangun. Dasar fundamen itu, menjadi identitas jiwa dan kepribadian bangsa itu yang membedakannya dengan bangsa lainnya. Bangsa yang kehilangan jiwa dan identitasnya adalah bangsa yang tidak memiliki arah yang jelas bagi penyelenggaraan negaranya, dan pada sisi lain, ketika jiwa dan identitas bangsa itu tidak lagi dijadikan dasar dalam kebijakan negara, maka sesungguhnya bangsa itu telah kehilangan identitas dan kepribadiannya. Bangsa-bangsa besar dan maju adalah bangsa yang bergerak dan memajukan bangsanya di atas dasar identitas dan kepribadian bangsanya sendiri. Jika tidak, bangsa itu akan menjadi pengekor dan hanya sekedar bangsa peniru yang tidak menjadi bangsa yang terkemuka. Oleh Soekarno menyebut dasar fundamental itu sebagai, filosphische grondslag atau weltanschauung di atas mana kita mendirikan Indonesia merdeka. 
Bangsa Perancis yang lahir dari revolusi Preancis tahun 1789 -1799, melahirkan prinsip paling dasar yang menjadi identitas bangsa itu hingga saat ini yaitu: liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Bangsa Perancis memisahkan secara ketat antara urusan agama dengan urusan public (negara). Sedangkan bangsa Amerika dalam preambule konstitusinya memuat dengan jelas dasar bagi bangsa Amerika, yaitu “We the people of the United States, in order to form a more perfect union, establish justice, insure domestic tranquility, provide for the common defense, promote the general welfare and secure the blessing of liberty of ourselves and our posterity”. Prinsip bangsa Amerika adalah the right to live, liberty and pursuit happiness. AS mengikuti John Stuart Mill dengan kalimatnya yang terkenal, the greatest happeness of the greatest peoples”. Artinya, melalui jalan individualisme dan kebebasan memberikan kebahagiaan tertinggi kepada sebagian besar orang. Filsafat tertinggi dan paling diagungkan adalah humanism dan individualism (human dignity). Dasar inilah yang secara terus menerus ditanamkan dan diajarkan pada setiap anak-anak Amerika sejak dini.
Fundamen Kehidupan Bangsa Indonesia
Ketika para founders fathers (mothers) kita mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dalam rapat-rapat Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan ( Dokuritu Zyumbi Tyoosakai) atau BPUPK, persoalan pertama yang dikemukakan oleh ketua BPUPK dr Radjiman Wedyodiningrat adalah dengan dasar apakah negara yang kita dirikan ini dijalankan. Suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan perenungan yang panjang karena menyangkut dasar dan fundamen negara, yang akan menjadi dasar bagi berdiri tegaknya negara Indonesia merdeka. Sejak awal abad 20, terjadi perebutan pengaruh dua kutub aliran pemikiran yang menentukan jalannya negara yaitu aliran pemikiran individualism kapitalisme dan sosialisme komunisme. Para founding fathers kita seluruhnya, mencari jalan keluar dari kedua aliran pemikiran tersebut yaitu tidak individualism dan tidak pula sosialisme komunisme. 
Dari catatan risalah rapat BPUPK, tercatat 32 orang anggota BPUPK yang berbicara dari 66 oranggotanya (60 anggota dan 6 orang anggota tambahan), yaitu 11 orang ada tanggal 29 Mei, 10 orang pada tanggal 30 Mei, 6 orang pada tanggal 31 Mei dan 5 orang pada tanggal 1 Juni 1945. Sayang sekali, tidak seluruh pembicaraan anggota BPUPK itu terekam dalam bentuk risalah terdokumentasi secara tertulis maupun stenografi, termasuk pengantar rapat yang dikemukakan oleh Dr Radjiman ketika meminta para anggota untuk menyampaikan dasar negara itu, juga tidak ditemukan. Terdapat tiga buku risalah rapat BPUPK yang beredar sampai saat ini, yaitu pertama termuat dalam Buku Mr. Muhammad Yamin, “Naskah Persiapan UUD 1945” yang hanya memuat pidato Mr. Muhammad Yamin yang disampaikan tanggal 29 Mei 1945, pidato Prof Soepomo pada 31 Maei 1945 dan pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Kemudian risalah yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI sampai pada edisi ke empat, menambahkan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo yang disampaikan pada tanggal 31 Mei 1945 (sebelum pidato Prof Soepomo). Kemudian terkahir risalah yang termuat dalam buku “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, tulisan A.B. Kusuma, yang pada intinya memuat risalah yang sama tetapi meragukan otentitas risalah lengkap pidato Muhammad Yamin tanggal 29 Mei 1945 sehingga A.B Kusuma tidak mengambil pendapat Yamin ini dalam berbagai tulisannya. Mengenai pidato Muhammad Yamin yang termuat dalam buku Mr. Muhammad Yamin maupun buku terbitan Sekretariat Negara yang diragukan oleh AB Kusuma, menurut saya, perlu penelitian lebih lanjut mengenai otentitasnya. AB Kusuma meragukan otentitas pidato Muhammad Yamin, karena dari catatan stenografi dan naskah lengkap pidatonya tidak ditemukan baik dalam koleksi Muhammad Yamin maupun koleksi Pringgodigdo yang tersimpan di Arsip Nasional. Dari catatan stenografi, Muhammad Yamin hanya menyampaikan pokok-pokok isi pidato pada tanggal 29 Mei itu, tidak ditemukan naskah lengkapnya. Walaupun demikian, saya berpendapat bahwa memperhatikan model Pak Muhammad Yamin yang suka bicara, saya tidak yakin bahwa Muhammad Yamin hanya menyampaikan ringkasan isi pidatonya pada tanggal 29 Mei itu. Oleh karena itu sebelum ditemukan suatu dokumen autentik, saya tetap menjadikan pidato Yamin itu sebagai bahan dalam memberikan pandangan mengenai dasar negara, karena pidato Muhammad Yamin, menjadi sangat penting artinya, karena Muhammad Yaminlah yang pertama mengemukakan lima dasar negara, yaitu peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan sosial.     
Saudara-saudara yang saya hormati   
Dari 32 orang pembicara tersebut, hanya empat pembicara yang secara panjang lebar menyampaikan uraian panjang lebar mengenai dasar negara yang diminta oleh ketua BPUPK, yaitu pidato Muhammad Yamin, pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo, pidato Prof Soepomo dan pidato Soekarno 1 Juni 1945. Adapun pidato anggota yang lainnya hanya sepintas menyampaikan dasar-dasar negara itu. Dari catatan risalah yang ada, terdapat 9 orang yang juga menyinggung dasar negara dalam pidatonya, namun tidak uraian panjang lebar seperti yang disampaikan oleh empat pembicara tersebut. 
Muhammad Yamin dalam pdatonya tanggal 29 Mei 1945, menguraikan lima prinsip Indonesia merdeka adalah peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri Kerakyatan dan Kesejahteraan sosial. 
Ki Bagus Hadikusumo, menyampaikan pidato panjang yang mengusulkan negara Indonesia itu dibangun berdasarkan agama Islam yang mengandung hikmah dan kebjiaksanaan. 
Soepomo menyampaikan tiga aliran pikiran bernegara yaitu aliran pikiran perseorangan (individualistis), sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes, Locke (abad 17), Rosseau (abad 18) negara yg disusun atas dasar kontrak sosial;
Kedua aliran pikiran golongan, theory kelas yang diajarkan Marx, Engel dan Lenins, aliran pikiran yang menganggap negara sebagai alat bagi golongan untuk menindas kelas lain, negara mempunyai kedudukan ekonomi paling kuat utk menindas kelompok lain;
Ketiga negara integralistik, seperti yang diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain, yaitu negara tidak untuk menjamin kepentingan perseorangan atau golongan akan tetapi kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan dan 
Aliran pikiran yang prinsip intgeralistik, yaitu manunggalnya rakyat dengan raja (penguasa), yaitu suatu bentuk negara yang cocok dengan watak bangsa Indonesia yang beradarkan kolektivisme yang berbeda dengan negara yang berdasarkan pada individualism di Amerika dan Eropa dan golongan dalam negara komunis. 
Sedangkan Soekarno dalam pidatonya yang panjang, penuh semangat dan memperoleh perhatian sangat besar dari para anggota, pada tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan lima dasar negara yang disebutnya dengan Panca Sila, yaitu dasar kebangsaan, internasionalisme, permusyawaratan, perwakilan dan kesejahteraan dan Ketuhanan yang dapat diperas menjadi tiga dasar (tri sila) yaitu : sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan, dan dapat pula diperas lagi menjadi satu sila (Eka Sila) yaitu “Gotong Royong”. 
Dari berbagai pandangan tersebut, dibentuklah Tim Perumus, yang disebut Panitia Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 9 orang tokoh yaitu Ir. Soekarno. Drs. Mohammad Hatta, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoeyoso, H. Agus Salim, dan Alexander Maramis. Hasil kerja Panitia Sembilan inilah yang melahirkan kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 yang disebut dengan Piagam Jakarta. Apa yang disepakati tanggal 22 Juni itu, merupakan kompromi darai golongan-golongan yang ada, oleh Soekarno disebut sebagai golongan Nasionalis dan Golongan Islam, yang isinya tetap lima dasar tetapi berubah dari lima dasar yang dikemukakan oleh Soekarno. Kemudian berubah kembali ketika dishakan 8 agustus 1945 (Pancasila sekarang ini), dan terakhir secara substansil berubah ketikah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yaitu UUD 1945 dijiwai dan bagian tdk terpisahkan dari UUD 1945.
Saya tidak akan mengemukakan kembali segala perdebatan dan uraian yang kita telah mengetahui bersama mengenai Pancasila itu, tetapi pada kesempatan ini ijinkan saya menyampaikan sekali lagi pemahaman atas lima dasar itu, dikaitkan dengan kehidupan kebangsaan kita pada saat sekarang ini.
Saudara-Saudara yang saya hormati
Pancasila Sebagai Fundamen khidupan bangsa
Lima dasar dalam Pancasila itu adalah kristalisasi nilai-nilai kebangsaan kita yang terhimpun dari sejarah perjalanan bangsa yang berabad-abad sebelumnya dan dari seluruh wilayah nusantara yang beragam suku dan agama. Nilai-nilai itu adalah nilai yang sangat mendasar (fundamental) atau inti terbawah dari nilai-nilai sekunder yang terus berubah, tumbuh dinamis dalam permukaan. Nilai-nilai itu merupaka intisari kebudayaan bangsa Indonesia dalam kehidupan sosial kebangsaannya sehari-sehari. 
Menurut saya, antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Pancasila itu sudah menyatu menjadi satu kesatuan nilai budaya bangsa Indonesia dalam kehidupannya berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Pancasila merupakan resapan dari nilai-nilai agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia terutama pengaruh agama Islam yang sangat kuat. Sebagaimana kita ketahui, sifat hakekat kebudayaan itu adalah terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia, dan nilai-nilai itu telah terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnye generasi yang bersangkutan. Maka, nilai-nilai Pancasila itu adalah nilai-nilai yang telah menjadi watak bangsa Indonesia sebelum negara Indonesia itu lahir. Nilai-nilai Pancasila, bukan diciptakan tetapi merupakan kristalisasi dari nilai yang telah ada sejak-generasi-generasi sebelumnya.
Mengenai nilai-nilai agama dan budaya yang menyatu pada nilai-nilai Pancasila itu, ada baiknya pada kesempatan ini saya menyampaikan adanya empat model hubungan hubungan antara agama dan negara yang dipraktikan di pelbagai negara :
Pertama, model negara sekuler, yaitu model hubungan negara yang memisahkan dengan urusan agama. Segala yang berkaitan dengan agama tidak boleh masuh dalam ranah negara, bahkan dalam ranah public. Agama adalah urusanb profane yang berkaitan hubungan individu dengan tuhannya, tidak dapat dibawa-bawa dalam kehidupan negara dan public.
Kedua, Negara Teokrasi yang dipraktikan di Eropa pada abad pertengahan, yaitu negara yang diatur dan jalankan dengan kuasa Tuhan, yang dalam pelaksanaannya dijalankan oleh gereja.
Ketiga, Negara Nomokrasi Islam, yaitu negara yang dijalankan atas dasar ajaran Islam dengan proses transplantasi, yaitu secara langsung menjadikan Al Qur’an dan Assunah sebagai dasar hukum dan kebijakan negara (pada umumnya mengambil satu mazhab saja untuk menghindari perbedaan)
Keempat, negara yang menjadikan ajaran agama sebagai nilai yang harus dihormati, dilindungi dan dijalankan dalam bentuk transformasi. Yaitu dijalankan nilai- nilai dan hukum agama itu yang dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan transformasi ke dalam hukum dan kebijakan negara, dalam bentuk legislasi (qanunisasi) dan dengan menghindari penerapan nilai yang bertentangan dengan ajaran agama. 
Model yang terkhir inilah yang dianut oleh Indonesia, yang secara ringkas disampaikan oleh Presiden Soeharto sebagai negara yang bukan negara sekuler dan bukan negara agama, tetapi negara yang menjadikan nilai-nilai agama sebagai pedoman kehidupan kenegaraan.
Kesimpulan ini, dapat ditelusuri dari perdebatan dan diskurs mengenai dasar dan penyelenggaraan negara Indonesia sejak awal kebangkitan nasional hingga sekarang ini. 
Kalau kita refleksi kembali pada masa-masa awal kebangkitan nasional Indonesia dengan meneliti pikiran dan perjuangan HOS Cokroaminoto (Jang Oetama dan Sang Guru Bangsa) mengenai bagaimana nilai-nilai agama Islam dalam menghadapi tantangan kapitalisme dan marxsisme pada saat itu, maka HOS Cokroaminoto memperkenalkan ajaran “Sosialisme Islam”. Inti ajaran sosialisme Islam adalah kritik dan penolakannya atas komunisme dan kapitalisme, yang menurut Cokro, Belanda berorientasi tak berkesudahan antara kapitalisme dengan tetap memahami iman gereja dalam konteks terpisah (sekularisme). Komunisme di sisi lain melakukan penolakan terhadap jiwa kapitalisme sekaligus nilai-nilai gereja. Akan tetapi persamaan antara kapitalisme dan komunisme adalah pada jiwa materialisme dan Darwinisme sosial. Hal itu jelas bertentangan dengan Islam yang bertolak pada Tauhid, dan turunan keimanannya dalam bentuk perbuatan amal shaleh dan akhlak mulia yang diajarkan Al Qur’an dan Assunah. Tujuan hidup menurut Islam berorientasi pada hari akhir, kepada Allah, bukan pada materi seperti pada ajaran kapitalisme maupun sosialisme komunisme (Aji Dedi Darmawan, 2014 – 183). Walaupun terdapat kritik atas Sosialisme Islam yang ditulis HOS Coktoraminoto, tetapi terdapat dorongan dan semangat yang kuat untuk memberi solusi Islam atas benturan dua kutub budaya yang dominan saat itu, yaitu kapitalisme dan sosialisme komunis. 
Pandangan HOS Cokroamino, ini sangat relevan dikaitkan dengan berbagai pandangan ketika perumusan dasar negara (yang dalam Tim 9 BPUPK itu terdapat dua orang anggota syraikat Islam yaitu Agus Salim dan Abikusno serta seorang murid terkemuka dari HOS Cokroaminoto disamping sebagai menantu yaitu Soekarno). Hingga sekarang diskursus itu masih tetap hidup dan relevan. Paling tidak dalam pandangan bahwa ekonomi dan demokrasi ekonomi yang kita bangun adalah demokrasi ekonomi yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa (yaitu ajaran agama, khususnya tauhid dalam ajaran Islam)   
Pada sisi lain Muhammad Hatta, sejak tahun 1932 dalam tulisannya mengenai Indonesia Merdeka, telah menawarkan suatu konsep ekonomi Indonesia yang berada diantara kapitalisme dan komunisme, yaitu konsep demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi adalah ekonomi yang dibangun atas prinsip daulat rakyat, yaitu suatu prinsip yang menempatkan rakyat di puncak kepentingan ekonomi. Rakyat yang dimaksud adalah rakyat yang hidup berdasarkan prinsip kolektivsme dan saling tolong menolong di desa-desa. Hatta menyampaikan pendapat tersebut dengan mengambil intisari dalam praktik ekonomi desa-desa di Indonesia sejak jaman dahulu kala, yang dianggap sebagai demokrasi asli Indonesia. Dalam tingkat desa itulah praktik ekonomi Indonesia dijalankan secara turun temurun sebagai budaya asli bangsa Indonesia pada masa lalu, menurut Hatta, pada tingkat atas, tidak ada demokrasi ekonomi, tetapi semata-mata otokrasi. Kerajaan-kerajaan feudal yang berkuasa di Indonesia lah yang menyebabkan Indonesia dijajah sangat lama oleh Belanda. Menurut Hatta, demokrasi asli yang ada di desa-desa di Indonesia, mempunyai tiga sifat utama yang harus dipakai sebagai sendiri perumahan Indonesia merdeka, Pertama; cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyta Indonesia dari jaman dahulu sampai sekarang dan tidak luput karena tindakan yang pelbagai rupa. Rapat iyalah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan bermufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampaklah desa demokrasi pemerintahan rakyat. Kedua, cita-cita masa protes yaitu hak rakyat untuk membantah cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap pemerintahan despotisme atau otokrasi yang tersusun di atas pundak desa demokrasi. Ketiga, cita-tolong menolong sanubari rakyat Indonesia penuh dengan rasa bersama, kolektiviteit. Kalau seorang di desa hendak membuat rumah atau mengerjakan sawah ataupun ditimpa bala kematian maka ia tidak perlu membayar tukang atau menggaji kuli, melainkan dibantu bersama-sama oleh rakyat desa. 
Di sinilah menurut Hatta, bedanya demokrasi Indonesia dengan demokrasi liberal yang diajarkan oleh Rosseau yang bersumber dari ajaran individualisme yang hanya menekankan pada demokrasi politik. Pada bidang ekonomi, demokrasi barat memberi kebabasan kepada pasar yang memberi kemungkinan kepada pemilik modal untuk menumpuk harta dan hanya menjadikan rakyat (kaum buruh) sebagai pekerja dengan menerima upah semata. Di sini akan terjadi pemilik modal menghisap keringat buruh dan dominasi kekuasaan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Karena kondisi yang demikianlah, melahirkan ajaran dan gerakan sosialisme komunis yang menghendaki mmasyarakat tanpa kelas yaitu dengan menempatkan golongan buruh sebagai yang berkuasa yang mewujudkan negara tanpa kelas itu. Menurut Hatta, Stem komunis yang bermula dipraktikan oleh Uni Sovyet, yang diberi nama “demokrasi rakyat” itu tidak dapat pula kita pakai, sebab itu bukan demokrasi. Demokrasi membawa penghargaan kepada manusia dan persamaan diantara mereka yang tidak ada dalam sistem komunis. Sistem komunis itu, tidak lain daripada feodalisme yang dirasionalisasi. 
Demokrasi ekonomi ndonesia yang berdasarkan daulat rakyat tidak sama dengan kedua model ekonomi itu. Demokrasi Indonesia menciptakan terlaksananya dasar-dasar kemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi ekonomi. Pandangan Hatta ini tidak memasukkan nilai agama dan ketuhanan sebagai bagian dari ajaran demokrasi ekonomi yang dibangunnya. Di sinilah perbedaan antara HOS Cokroaminoto dengan Hatta.
  Soekarno, seperti dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPK, ketika menyampaikan dasar-dasar Indonesia merdeka Soekarno menyatakan bahwa Indonesia memiliki Weltanschauung yang menjadi dasar Indonesia merdeka. Menurut Soekarno, Hitler mendirikan Jermania di atas “national-socialistische weltanschauung” yaitu filsafat nasionalisme sosialis. Lenin mendirikan negara Sovyet atas di atas satu weltanschauung yaitu Marxistiche, historische materilische. Nippon mendirikan negaranya di atas “Tennoo Koodoo Seishin”. Arab Saudi mendirikan negaranya dia atas Wltanscahuung Agama Islam. Lalu di atas weltanschauung apa kita hendak mendirikan Indonesia merdeka? 
Soekarno menawarkan satu negara kebangsaan Indonesai (nationalestaat), kebangsaan yang menyeluruh dan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme. Prinsip kedua adalah internasionalisme, yaitu internasionalisme yang bukan bermaksud kosmopolitisme yang tidak mau adanya kebangsaan. Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar pada nasional demikian juga sebaliknya. Dasar ketiga adalah dasar mufakat, dasar perwakilan dan dasar permuswaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan tetapi negara “semua buat semua”. Prinsip keempat yaitu prinsip kesejahteraan. Mengenai prinsip kesejhateraan ini, Soekarno memiliki pendapat yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Hatta yaitu prinsip demokrasi ekonomi dan sosial demokrasi dan prinsip terkahir adalah prinsip Ketuhanan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Tuhan, seluruh rakyat Indonesia ber-Tuhanya sendiri.
Saudara-saudara sekalian
Dari berbagai perdebatan dalam BPUPK dan Panitia 9 perumus UUD, mereka sampai pada kesepakatan yang monumental, yaitu kesepakatan 5 dasar yang merupakan Weltanschaung (philosophyschegrondslach) bangsa Indoeneia yang tercantum dalam kesepatan 22 Juni 1945 (yang disebut oleh Mohammat Yamin sebagai Piagam Jakarta), dan disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan mengubah Sila Kesatu, dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kesepakatan ini telah mengoreksi dan memperbaiki padangan Hatta maupun pandang Soekarno tentang posisi agama dalam Weltanschauung bangsa Indonesia. Perubahan itu adalah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai causa prima dari sila-sila lainnya, yaitu merupakan sila yang inti dan memberi pengaruh pada sila-sila lainnya. Nilai-nilai Pancasila itu adalah satu kesatuan nilai yang utuh yang tidak dapat dimaknai secara terpisah-pisah, tetapi saling kait-mengkait dan saling mnegikat antara satu dengan yang lainnya. Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, mewarnai seluruh pandangan tentang kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, serta keadilan sosial. Kelima sila tersebut tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama dan telah diterima dengan tulus oleh seluruh penganut agama yang hidup di Indonesia.
Kelima sila Pancasila tersebut dipancari oleh nilai-nilai agama, seperti nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai yang dijunjung tinggi oleh ajaran agama, kedatangan para nabi dan rasul utusan Tuhan adalah dalam rangka menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu. Demikian juga, nilai persatuan Indonesia yang oleh para ulama kita menempatkan cinta negeri sebagai bagian dari iman. Nilai-nilai musyawarah, kebijaksanaan, perwakilan adalah transformasi nilai-nilai agama kehidupan kebangsaan Indonesia. Demikian juga keadilan sosial adalah ajaran yang dibawa oleh seluruh para nabi dan rasul. Ajaran keadilan sosial, menolak individualism kapitalisme dan sosialisme komunisme karena tidak menjamin keadilan sosial. 
Pada prinsipnya dalam kehidupan kebangsaan Indonesia nilai-nilai agama yang dianut dan dijalankan oleha seluruh rakyat Indonesia, telah bertransformasi ke dalam nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, paling tidak terefleksi dalam nilai-nilai Pancasila. Hubungan dan proses transformasi ini akan terus berlangsung dan menjadi wilayah tanggung jawab generasi bangsa pada masa yang akan datang, karena itulah yang menjadi jiwa dan identitas bangsa Indonesia. 
Hendaklah kita semua, terutama generasi muda bangsa terus menampatkan dan tidak saling mempertentangkan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya ini, dengan tetap menempatkan nilai-nilai agama sebagai nilai yang tertinggi, karena itulah makna dan posisi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. 
SEKIAN DAN TERIMA KASIH
*Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 11 Desember 2015
 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *