DINAMIKA NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA
DINAMIKA NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

DINAMIKA NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM KONSTITUSI DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Pengantar
Nilai-nilai Islam dan syariat Islam telah menjadi perdebatan sejak awal konstitusi Indonesia dibentuk. Dalam hal ini tidak berarti saya mengabaikan pentingnya peran dan sumbangsih nilai-nilai agama lain dalam konstitusi Indonesia. Tulisan singkat ini, mendiskusikan nilai agama dalam konstitusi dan sistem hukum Indonesia, dan memberi gambaran bagaimana sesungguhnya posisi agama dan khususnya Islam dalam negara Indonesia yang kita cintai. Hal ini diharapkan akan semakin melengkapi dan memantapkan pemahaman kita terhadap konstitusi dengan segenap nilai-nilai yang dikandung di dalamnya.
Setiap pembicaraan mengenai konstitusi tidaklah dapat dilepaskan dari perspektif sejarah, mengingat konstitusi pada dasarnya merupakan kesepakatan politik bangsa melalui para pembuatnya sesuai dengan situasi, tempat dan waktu pada saat konstitusi dirumuskan dan dinamika dalam implementasinya. 
Oleh karena itu, dinamika nilai-nilai agama dalam konstitusi dalam bahasan aktual hari ini harsulah merupakan satu tarikan napa dengan realitas sejarah pada saat konstitusi tersebut dirumuskan dan disahkan.
Makna Konstitusi
Konstitusi merupakan syarat mutlak keberlangsungan suatu negara karena konstitusi memuat sendi-sendi untuk menegakkan negara. Di dalam konstitusi, dimuat nilai dan norma yang disepakati bersama seluruh warga negara untuk dijadikan rujukan tertinggi dalam bernegara. Dalam kerangka itulah, undang-undang dasar biasa disebut sebagai kontrak sosial atau perjanjian bersama tertinggi dalam negara. Konstitusi mengandung kesepakatan-kesepakatan umum yg menjadi dasar dan patron dalam menyelenggarakan negara untk mencapai tujuannya.
Dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, para perumusnya mengikhtiarkan agar konstitusi dibangun sesuai dengan karakter bangsanya. Meskipun para perumus Undang-Undang Dasar menggunakan referensi konstitusi berbagai negara, namun terdapat usaha sungguh-sungguh sedapat mungkin materi muatan konstitusi menggambarkan kekhasan tata nilai masyarakat Indonesia sendiri. Pada konteks ikhtiar inilah, nilai-nilai agama khususnya nilai-nilai universal Islam sebagaimana yang dianut mayoritas bangsa Indonesia yang telah membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia memberi warna dan kontribusi dalam proses perumusan nilai dan norma konstitusi. 
Perdebatan Awal
Dalam proses perumusan UUD 1945, terjadi diskusi mendalam mengenai suatu tema yaitu atas dasar apa negara Indonesia didirikan? Dua kelompok yang berbeda secara diametral saling berhadapan, yakni kelompok yang menghendaki adanya kaitan formal antara Islam dan negara, baik dalam bentuk negara Islam, Islam sebagai agama negara, atau negara yang memberlakukan ajaran Islam, dengan kelompok yang menentang kaitan Islam dan negara dalam bentuk apapun. Pada akhirnya titik temu dapat disepakati, walaupun hal tersebut masih dan terus saja diperdebatkan. 
Menguraikan sejarah perjalanan nilai-nilai agama, khususnya agama Islam dalam konstitusi, pada dasarnya merupakan bentuk perjuangan eksistensi. Dari perspektif itu dapat diungkap pola hubungan antara Islam dan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk hukum Islam yang menjadi living law dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, kehidupan penduduk di wilayah nusantara sangat dekat dengan agama-agama, sejak dari penganut agama Hindu dan Budha, kemudian pengaruh agama Islam, dan agama Kristen hingga penganut berbagai kepercayaan yang ada jauh sebelum pengaruh agama-agama itu datang. Tidak dapat dipungkiri, jauh sebelum terlembagakan dalam bangunan negara, Islam secara kultural telah berakar dalam kesadaran hukum masyarakat dan telah menjadi bagian penting dari kebudayaan Indonesia. Ketika Belanda menancapkan kekuasaannya di bumi nusantara, sebagian besar kerajaan-kerajaan yang ada telah memberlakukan corak pemerintahan Islam, meskipun hukum Islam diberlakukan bukan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Namun dalam perkembangannya, pengaruh kepentingan kolonialisme membuat hukum Islam berada dalam posisi tidak pasti dan terpinggirkan. Puncaknya, melalui Staatsblad 1937 Nomor 116, keberlakukan hukum Islam dibatasi melalui politik hukum Belanda yang diilhami oleh teori receptie yang digagas Snouck Hurgronje. 
Di masa menjelang kemerdekaan, diskursus tentang Islam menjadi lebih bersifat struktural karena masuk ke wilayah legal-konstitusional. Bahkan, keberadaan nilai-nilai Islam berhasil diperjuangkan dalam konstitusi yang ditandai oleh tercapainya gentlemen aggrement atau dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam ini diusulkan menjadi preambule UUD 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam piagam ini pula, terdapat formulasi sila pertama Pancasila dengan yang menyatakan “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syar’iat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. 
Sungguh pun demikian, kesepakatan atas Piagam Jakarta tidak berjalan mulus karena diwarnai perdebatan antara faksi nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler dalam sidang BPUPKI. Faksi nasionalis-Islam menghendaki negara Islam, sedangkan faksi nasionalis-sekuler menginginkan negara yang tidak berdasarkan agama. Faksi nasionalis-Islam berprinsip bahwa agama, dalam hal ini Islam, tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan, dan alam semesta. Sedangkan faksi nasionalis-sekuler berprinsip bahwa agama dan negara harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, sementara negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.
Terlepas dari perdebatan tersebut, penting untuk diketahui bahwa “delapan kata” yang terkandung dalam Piagam Jakarta menyiratkan suatu kesepakatan diantara para founding fathers mengenai tata hubungan negara dan agama. Konsekuensinya, kalimat tersebut juga dicantumkan dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, temasuk juga adanya ketentuan yang mengharuskan Presiden orang Indonesia asli dan beragama Islam. Namun, kompromi yang tertuang dalam Piagam Jakarta tersebut diformulasikan kembali pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI, alasannya, muncul kekhawatiran dari kalangan rakyat Indonesia Timur terhadap kandungan kata-kata dalam Piagam Jakarta. Akhirnya, “delapan kata” dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 
Kesepakatan PPKI ini merupakan kompromi dan jalan tengah yang paling bisa diterima oleh para founding father pada saat itu. Menurut pandangan Agus Salim, salah seorang perumus pembukaan UUD 1945, “Pancasila menjadi tempat pertemuan kita dimana kita berhimpun. Hal itu bermakna bahwa persatuan yang berharga itu tak mungkin dapat menghimpunkan segala aliran, semua-semuanya dengan tak ada kecuali. Pada sisi lain untuk mendapat kepastian tentang aliran-aliran manakah yang dapat kita bersatu dengan dia dalam satu urusan haruslah kita senantiasa memelihara hubungan dengan aliran-aliran lain itu dan dapat merundingkan dengan orang-orangnya tentang apakah dan cara bagaimanakah kita dapat kerjasama menurut pokok-pokok Pancasila.” Berdasarkan pandangan Agus Salim tersebut pandangan atheis yang tidak percaya kepada Tuhan tidak mungkin dapat disatukan dengan Pancasila itu.
Saudara-saudara yang saya hormati,  
Dinamika Setelah Merdeka
Polemik soal perubahan delapan kata dalam Piagam Jakarta mencuat kembali dalam proses pembuatan Konstitusi di sidang Konstituante dalam rentang waktu 1957-1959. Terjadi tarik menarik kembali soal dasar negara. Faksi nasionalis-sekuler mengusulkan Pancasila, sedangkan faksi nasionalis-Islam bersikukuh dengan Islam sebagai dasar negara. Karena jalan kompromi tidak ditemukan, Konstitusante mengalami deadlock sehingga kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 dengan alasan Konstituante gagal menyelesaikan tugasnya.
Jika dicermati, Dekrit Presiden sesungguhnya menjembatani dua arus pemikiran yang berkembang dalam Konstituante, yaitu mengakomodasi pandangan faksi nasionalis-Islam dengan mencantumkan dalam salah satu konsideran dekrit tersebut bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dictum pertimbangan dekrit tersebut, memperjelas posisi syariat Islam dalam Undan-Undang Dasar 1945, sehingga dapat dikatakan kedudukan syariat Islam dalam UUD 1945 sesudah Dekrit Presiden menjadi lebih kuat daripada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI. 
Berdasarkan realitas demikian meskipun tanpa memuat delapan kata dari Piagam Jakarta, eksistensi ideologi agama, khususnya agama Islam, secara expressiv verbis  tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang memuat falsafah dasar negara, yakni pada sila pertama yang menyatakan, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam pandangan saya, keduanya mengandung dimensi yang sejalan dengan Q.S. Al Ikhlas, ayat (1) yaitu, أَحَدٌ اللَّهُ هُوَ قُلْ” ” yang berarti “katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa”. Hal ini menjadi cerminan konsep monoteisme atau tauhid yang dianut konstitusi, sehingga Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai nilai keislaman yang berhubungan dengan aqidah (keyakinan) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 
Hal yang tidak kalah penting, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, dengan dianutnya konsep Negara Hukum Pancasila yang mengakar pada konstitusi menunjukkan ada keseimbangan antara negara, hukum, dan agama. Agama sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam, terbukti prinsip ketuhanan menjadi sila yang pertama dalam Pancasila yang menurut istilah Prof. Oemar Senoadji sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Causa Prima dari sila-sila yang lainnya. 
Hal tersebut sejalan dengan kalimat di dalam Alinea Ketiga Pembukan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”, yang bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bagi Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga menjadi motivasi spritual bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Inilah pengakuan religius yang menandakan bahwa Indonesia mengakui nilai-nilai agama yang sekaligus dijadikan sebagai dasar dalam membangun hukum positif negara maupun dasar moral negara. 
Setelah Reformasi Konstitusi Indonesia
Di kemudian hari, ketika Undang-Undang Dasar mengalami perubahan pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, di dalam ketentuan Perubahan UUD 1945, nilai-nilai keislaman ditemukan dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung, Pasal 27, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945 yang berisi pengakuan atas persamaan dan kesetaraan serta hak asasi manusia. Untuk itu, saya berpandangan bahwa ketentuan di dalam konstitusi telah mencerminkan nilai-nilai Islam dan mengakui keberadaan nilai-nilai agama. Bahkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, salah satu pembatasan atas Hak Asasi Manusia adalah nilai-nilai agama. Hal itu berati nilai-nilai agama berada di atas HAM.
Saudara-saudara, hadirin yang berbahagia,
Berkaitan dengan pembentukan hukum nasional, dalam prosesnya terdapat kecenderungan semakin menguatnya hukum Islam. Dalam hal ini, hukum Islam bukan lagi sekedar sumber persuasif melainkan telah menjadi salah satu sumber otoritatif dalam hukum Indonesia. Terlebih lagi, dalam proses Perubahan UUD 1945, mayoritas fraksi dan anggota MPR menyepakati rumusan Pasal 29 UUD 1945 tidak ada perubahan. Pada saat yang sama, di dalam Perubahan Keempat ditegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 adalah Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Penegasan demikian bermakna, pemberlakuan kembali UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan pernyataan bahwa piagam tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari UUD ini. 
Akibatnya, upaya untuk mentransformasi hukum Islam dalam materi hukum nasional semakin tidak terbendung. Secara eksplisit, pembentukan undang-undang telah mengadopsi nilai-nilai Islam, baik secara formil maupun materiil. Pada masa Orde Baru terdapat beberapa undang undang yang merupakan transformasi hukum Islam, seperti UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan. Pada masa reformasi kehendak mengaktualisasikan hukum Islam dalam bentuk undang-undang semakin meningkat. Hal ini dijumpai antara lain lahirnya UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Bahkan, ada yang implisit mengadopsi nilai-nilai Islam, yakni UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan lain sebagainya. 
Selain itu, eksistensi hukum Islam bukan hanya berkaitan dengan bidang hukum privat (ubudiyah dan mu’amalah), akan tetapi telah menyentuh bidang hukum publik yang berhubungan dengan pidana Islam (jinayah/uqubat). Di Aceh misalnya, diterapkan hukum pidana Islam melalui UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang selanjutnya diatur dalam peraturan seperti UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Produk hukum turunannya dibuat melalui qanun, antara lain yang mengatur peradilan syarait Islam, tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan aktifitas syiar Islam lainnya. Fenomena ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa hukum Islam memainkan peran sangat vital dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Hukum Islam tidak hanya mengisi kekosongan hukum namun sekaligus menjadi sumber nilai yang mendasari aturan hukum yang dibuat. 
Sungguh pun demikian, lahirnya aneka peraturan perundang-undangan yang memuat nilai-nilai Islam selalui disertai masalah. Dengan kata lain, upaya transformasi hukum Islam selalu menimbulkan polemik karena posisi hukum Islam berada di titik tengah antara paradigma agama dan negara dan bahkan berada di titik tengah ketegangan antara agama itu sendiri. Contohnya adalah penerapan hukum “jilid” atau cambuk bagi pelaku tindak pidana perjudian di Aceh, seakan-akan merupakan hal baru dalam khasanah hukum pidana di Indonesia. Padahal, hukum pidana Islam di Indonesia telah dipraktikkan di berbagai kesultanan di Indonesia sebelum kedatangan penjajah Belanda, misalnya eksistensi dan praktik peradilan agama dalam pemerintahan Islam di Kesultanan Bima pada tahun 1947-1957.
Arah Pembangunan Hukum Indonesia
Secara umum pembentukan hukum Indonesia diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional yang bersumber dari Pancasila dan Undnag-Undang Dasr 1945. Namun, untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial, bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu, diperlukan kebijakan dalam kerangka yang mencakup 2 hal, yaitu:
Pertama, dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, harus mengedepankan wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan wawasan bhineka tunggal ika. Sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia serta mencerminkan cita-cita hukum, tujuan, dan fungsi hukum, ciri dan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dalam hal ini, hukum nasional Indonesia yang akan datang haruslah sesuai dengan perkembangan serta kebutuhan zaman, yang dapat menyerap nilai-nilai hukum modern, namun tetap berpijak pada kepribadian bangsa. 
Kedua, unifikasi di bidang hukum harus dilaksanakan. Ini bermakna, seluruh golongan masyarakat akan diatur dengan satu sistem hukum nasional. Karenanya, hukum nasional yang akan diwujudkan tersebut harus memperhatikan pluralitas masyarakat dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan demikian, unifikasi hukum harus menampung aspirasi, nilai-nilai, dan kebutuhan masyarakat, yang dengan sendirinya harus sesuai dengan aspirasi dan kehidupan berbangsa dan bernengara. Dengan demikian, sangat dimungkinkan asas dan kaidah hukum Islam, hukum Adat, dan hukum Barat serta hukum lainnya diintergrasikan menjadi hukum nasional.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Agama Islam, memiliki hukum yang secara substansi terdiri atas dua bagian besar yaitu: (1) bidang ibadah dan (2) bidang mu’amalah. Pada dasarnya, pembangunan dan aplikasi prinsip-prinsip bidang mu’amalah itu diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan yakni para ulil amri. Karenanya, nilai Islam memegang peranan penting dalam membentuk dan membina ketertiban sosial dan mempengaruhi segala segi kehidupannya. Mentransformasi nilai Islam ke dalam hukum nasional merupakah salah satu jalan yang ditempuh, dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Dalam hal ini, cukup banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat dipergunakan dalam menyusun hukum nasional. Karena itu, dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan dan pelembagaan hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari praktek legislasi. Memang dalam teks ajaran hukum Islam itu tidak ada suatu keharusan memberlakukan hukum Islam melalui legislasi, namun menurut kaidah ushul fiqh, “sesuatu yang mubah bisa menjadi wajib, jika manfaat yang diberikan oleh sesuatu itu lebih besar bagi terlaksana sesuatu yang diperintahkan”. Atas dasar itu, jika efektivitas hukum Islam memerlukan campur tangan pemerintah, maka legislasi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan sebagai bentuk jaminan negara atas hak menjalankan keyakinan agama. Transformasi nilai Islam ke dalam bentuk legislasi berarti nilai Islam diangkat dan ditransformasi menjadi hukum negara. 
Di satu sisi, dengan transformasi nilai Islam akan dicapai kesesuaian antara nilai Islam (hukum Islam) dan hukum nasional. Satu hal yang patut diperhatikan, kesempatan dan sarana terbesar bagi transformasi nilai Islam adalah memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam undang-undang dan tidak berarti harus secara langsung menjadikan undang-undang tersendiri. Model ini lebih memperkecil pendekatan normatif dengan menjadikan hukum Islam dalam sebuah undang-undang tertentu. Namun dalam waktu bersamaan akan mempunyai jangkauan yang lebih luas, karena akan mampu meliputi banyak aspek atau jenis hukum atau undang-undang. Model seperti ini merupakan usaha memasukkan norma dan prinsip hukum Islam ke dalam hukum nasional secara akademik, argumentatif, sosiologis, kultural dan asas kemanfaatan demi tercapainya cita-cita dan kemashlatan bangsa. Pendekatan seperti ini juga dapat dilakukan ketika hakim atau penegak hukum berbicara mengenai kebiasaan dan doktrin sebagai sumber hukum. 
Dalam praktik peradilan konstitusi di MK khususnya dalam pengujian undang-undang MK telah menegaskan dan mengakui bahwa nilai-nilai agama menjadi sumber nilai dalam membentuk konstitusionalitas suatu undang-undang. Khususnya mengenai kebebasan dan hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dengan nilai agama.

Konklusi

Dari tinjauan historis sebagaimana diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kosmologi kehidupan bangsa Indonesia telah menjadikan nilai agama yang penting dan strategis dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Nilai itu bahkan melembaga baik dalam konstitusi, peraturan perundang-undangan dan praktek penyelenggaraan negara Indonesia. 
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arah politik hukum terhadap pembangunan bidang hukum Islam dengan jelas. Dengan merujuk pada prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada dasarnya merupakan amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan nilai-nilai agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Ini juga sebagai bentuk penegasan adanya jaminan dari negara kepada setiap penduduk untuk dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Artinya, negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi seluruh agama dengan hukum-hukumnya, dan melindungi serta melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut. 
Hal yang tak dapat dibantah adalah cita-cita batin, suasana kejiwaan, dan watak rakyat Indonesia banyak dibentuk oleh ajaran agama Islam. Dari pengalaman pembentukan berbagai peraturan perundang-undanagn nasional, terdapat gambaran bahwa ajaran agama Islam dan ketentuan-ketentuan hukumnya dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah hukum nasional. Hal ini menjadi bukti bahwa nilai agama Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa secara yuridis konstitusional, Undnag-Undang Dasar 1945 telah memberikan ruang apresiasi yang kuat dan cukup memadai bagi berkembangnya nilai-nilai Islam dalam hukum nasional.  

Join the Conversation

2 Comments

  1. Sumbangan pemikirannya abang bagi saya sangat diperlukan untuk “masa transisi peradaban bangsa yang besar” . Semoga ke-unique diri dan buah pemikiran abang dapat menumbuh kembangkan dan memecahkan masalah bagi generasi saat ini dan mendatang. Amiin YRA

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *